© The Triangle Love
Aku membuat janji dengan Thalita dan Sherile karena kurasa aku menjauhi mereka selama beberapa waktu terakhir ini, seperti anak barang lepas dari teman-temannya. Aku menjemput mereka berdua karena aku yang meminta mereka. Merekapun mau tapi agak tergesa-gesa.
Aku menyapa merea dengan hangat dan mereka membalas satu hal kusesali, aku mengkhianati dan menghancurkan perlahan-lahan persahabatan yang telah kubangun 4 tahun yang lalu. Aku mulai pembicaraan, dengan bertanya kepada mereka keadaan mereka sekarang dan balasnya cukup singkat, lalu dilanjutkan dengan keheningan seperti di pantai saat tengah malam. Pada akhirnya aku mengakui aku salah dan aku menepikan mobilku dan aku berbicara kepada mereka ada sesuatu yang aneh dalam diriku, yang aku sendiri tak tahu sampai sekarang dan yang mengubahku hingga seperti ini. Tentunya aku mengakhiri segalanya dengan permintaan maaf, karena tanpa mereka juga hancur berlebur lah hidupku semasa SMP. Mereka memaafkanku, saat aku menangis menceritakan itu semua, kulihat mereka juga bersedih. Lalu aku melanjutkan perjalanku. Di tengah perjalanan aku memulai joke, mendekati dan memperbaiki hubunganku dengan mereka yang seolah berlian pecah berkeping-keping. Sepertinya semua kembali semula, meski tidak se-perfect semula, samil merencanakan apa yang akan kami lakukan nanti, sepertinya menyenangkan. Saat itu wajahku tak terdefinisikan, perasaan apa yang ad di hatiku. Semuanya bercampur. Antara senang, tapi gelisah dan sedih tapi tertawa.
Sesampai di cafe, kita segera mengorder coffee dan cookies untuk snack di cafe sekaligus makan siang ringan. Aku memulai pembicaraan dengan menyuruh mereka minum dan memberitahu mereka kalau cafe ini baru dipasang router wi-fi baru. Mereka mencoba free wi-fi dengan handphone mereka dan sepertinya mereka asyik saja menatap layar handphone mereka yang cerah, tak secerah hatiku saat itu. Aku benar-benar bingung saat itu, bagaimana untuk memulai pembicaraan tersebut. Aku membuka mulut dan mengawalinya dengan batuk yang cukup keras seolah aku sakit. Beberapa orang melihatku, tapi aku tak peduli dan memanggil mereka berdua untuk aku ajak bicara. Betapa meneganggkan, membuat wajahku pucat. Aku menceritakan kisahku, awal masuk SMA, hingga aku menjadi orang yang sangat aneh. Aku mendetail lagi saat kisah dan moment dimana aku mengungkapkan perasaanku yang tidak benar dan akupun tak tahu apa alasannya. Mereka temanku yang mengertiku selama 4 tahun, tapi baru kali ini aku menjauhkan diriku. Disana aku tak bisa melihat mata mereka secara berani, aku hanya merunduk dan menceritakan semuanya. Sebenarnya aku sendiripun tak tahu apa yang terjadi dan aku hampir menjatuhkan butiran air mataku ke lantai, untung saja mereka tidak melihatku. Tapi aku tahu, mereka benar-benar teman yang baik, terbaik bagiku. Mereka mendengar semua yang aku ceritakan, ketidak sadaranku saat itu. Tidak hanya itu, mereka berhasil menenangkanku, aku seakan dilepaskan dari cengkraman monster dari Lucifer. Tapi itu hanya imajinasiku dan aku yakin tidak ada benarnya.
Sesudah aku bercertia semuanya, hingga wajahku memerah, dan mataku basah, aku memesan lagi hot frappucino sebelum meninggalkan cafe itu. Setelah itu kami bertiga segera meninggalkan cafe karena masih harus bekerja kelompok, membeli bahan, dan makan siang. Tak kusangka sesuatu terjadi dan itu mengejutkanku, masih melekat di otakku. Aku melihat Michael dengan seorang cewek dan mungkin saja itu pacarnya. Yang lebih mengagetkannya lagi, kulitnya tidak seputih waktu ia menggendongku saat di orientation awal SMA.
“Thal... Liat dong, itu sapa? Pasti taukan?” tanyaku yakin.
“HAH?! Aku tau sapa dia!” balas Sherile terkaget-kaget dengan sedikit lebay.
“Oh... I-iya... Aku juga.. Kulitnya a-aneh...” kata Thalita juga kaget dengan suaranya terpatah-patah.
Akhirnya aku memutuskan untuk menyerahkan semua catatan belanja dan uang ke mereka berdua, sedangkan aku yang mengawasinya dari jarak yang cukup jauh. Mereka berdua tidak melakukan hal yang aneh-aneh, sedangkan perasaanku semakin gugup. Wajahku mulai memucat lagi dan berkeringat tipis, detak jantungku berdetak semakin cepat. Aku menyadari ada sesuatu yang aneh darinya dan aku benar-benar ingin tahu siapa dia dan apa yagng terjadi dengannya. Aku sempat melihat wajahnya saat ia melalui toko “Precios Jewel” yang menjual berbagai macam perhiasan. Tapi saat aku melihat wajahnya dari kaca, dia juga melihatku dari kaca sambil mengedipkan mata kanannya. Aku shock, kaget, dan mulai gugup. Aku dengan cepat membuang muka dan berhenti mengikuti mereka. Aku memutuskan untuk menyapanya, dengan menjawil lengan kirinya yang berotot karena lengan kanannya digandeng silang oleh cewek yang kukira pacarnya itu.
“Hai!” sapaku sambil menjawil lengan kiri Michael.
“Oh.. Hai!” balasnya. Aku memandangi lengannya dan ada serbuk-serbuk emas yang berjatuhan.
“Apa itu?” tanyaku sangat kaget.
“Itu mungkin serpihan keringat yang mengering” balasnya yakin.
“Oh... Dan itu sapa?” tanyaku sekali lagi, melihat kearah cewek yang kukira pacarnya. Ia sedan terfokus memandangi handphonenya.
“Ah... Iya, aku lupa... Ini mantan pacarku dan sekarang kami sudah kembali. Kenalin, namanya Jocellynne” katanya sambil menyuruh Jocellynne menyalamiku.
“Kau tak pernah mengatakannya padaku dengan alasan inilah mengapa aku mengungkapkan perasaanku padamu. Tapi kau berbohong” balasku memasang wajah yang sedikit jengkel itambah dengan butiran keringat dan air mata.
Semua dugaanku benar dan tak kusangka ia membohongiku. Tapi tak apalah, wajahnya yang tampan sempurna tak mengubah segalanya. Kekuatan matanya yang berwarna buru keunguan tak menahanku mengungkapkan kejujuran di depan wanita itu dan aku masih ingin tahu, tentang kulit putih pucarnya dan coklat manis tadi. Tapi semuanya sudah terlambat. Michael mengejar Jocellynne yang kukenal barusan tadi, sepertinya ia marah dan hubungan mereka akan hancur seketika. Tapi tak apalah, demi pelampiasan kecurigaan dan kejengkelan yang selama ini pernah sempat kurasakan, untuk pria playboy yang dikenal tampan, teladan dan setia. Aku muak mendengarkan semua itu dan aku pula yang menhancurkannya. Aku berusaha menenangkan kemarahan mereka berdua, tapi aku kehilangan jejak dan itu semua yang bisa kulakukan, untuk menutupi semuanya. Beberapa saat kemudian handphoneku berdering, Thalita menelfonku, semua telah lengkap dan kami pulang dengan naik mobilku dan pada saat berada di mobil, aku sambil menyetir menceritakan semuanya kepada mereka berdua, dengan singkat tentunya karena aku yang mengemudi.
“Hei... Gimana tadi kalian?” tanyaku gembira.
“Haha... Kita baik-baik aja nih kelihatannya...” balas Sherile memberikan uang dan bonnya.
“Kau gimana, Jo?” tanya Thalita.
“Aku biasa. Tapi ada sesuatu yang hebat. Cewek itu benar pacarnya, sebenarnya mantan sih tapi mereka udah baikan” balasku.
“Dugaan kita benar!” balas Sherile sedikit tertawa dengan giginya yang putih.
“Lalu gimana?” tanya Thalita.
“Lalu, aku mengancurkannya dengan bertanya kalau dia tak pernah mengakuinya dan Jocellynne lari, Michael mengejarnya untuk menejelaskan. Haha...” balasku sedikit tertawa.
Aku menceritakan semuanya secara singkat dan akhirnya sampai pada rumah Thalita. Lalu aku melanjutkan perjalananku pulang hingga ke rumah. Matahari sudah mulai terbenam dan akupun mulai mengantuk. Sepanjang perjalanan aku merasa diriku sedikit aneh dan kejadian yang di kelas pada hari pertama terjadi dan akupun mulai takut. Suara-suara memanggil namaku, tubuhku berubah suhu panas dingin dengan kecepatan yang ‘non-sense’. Aku hanya berusaha untuk membiasakan itu dengan menyalakan radio lagu barat kesukaanku dan mendinginkan AC mobilku yang sudah sedikit tidak berfungsi. Tapi cara itu benar-benar tidak berefek banyak bagku. Aku memutuskan untuk berhenti sebentar, ke cafe terdekat untuk minum kopi. Saat itu aku melihat segalanya aneh, termasuk cafe itu. Orang-orang di dalamnya juga aneh dan aku merasa ak sedang berhasulinasi ringan. Aku mulai mengorder kopi hangat. Lalu kubawa ke mejaku dan kuminum sedikit demi sedikit. Bukannya aku lebih semangat dan menjadi bangun, malah aku bertambah pusing. Saat keadaanku yang serba tidak sadar dengan refleks aku menumpahkan cangkir kopi tersebut dan aku segera menopang kepalaku yang benar-benar sakit. Dalam keadaanku yang benar-benar tak sadar, tak tahu tempat dan waktu. Tiba-tiba aku melihat Michael dengan kulitnya yang berganti menjadi putih lagi saat pertama kumelihatnya. Sepertinya ia marah atas apa yang telah kulakukan padanya, yang menghancurkan hubungannya dengan pacarnya. Matanya memerah dan ia mengenakan kostum hitam, panjang, seperti iblis juga dilengkapi tongkat berujung 3 yang kukir pembersih sampah selokan.
Pada akhirnya aku tahu dia benar-benar menghantuiku hingga aku menjadi sangat aneh, sama saat pertama kali masuk SMA. Tapi itu hanyalah halusinasi yang aku percaya tak jauh dari kenyataan. Pembersih cafe membangunkanku dan aku tersadar saat itu juga. Kepalaku tetap pusing, wajahku putih kemerah-merahan. Aku telah menyatakan perasaanku padanya, tapi itu bukanlah sesuatu yang benar, aku tahu aku bukanlah apa-apa baginya dan aku hanya perusak hubungan mereka. Cinta segitiga yang berakhir sangat tragis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar