Selasa, 22 Februari 2011

Novel Series (parted) - The Strange

©  The Strange
“Cinta yang abadi”. Ya, sebuah frase yang cukup singkat, yang kupunya dan yang sedang kucari juga yang dicari oleh para remaja. Aku tahu itu, dan tak mudah mendapatkanya. Seakan-akan cinta abadi itu hanya milik Cinderella dalam dongeng. Pikiran itu selintas datang seakan petir di siang hari, bertepatan saat ayahku mengantarku ke bandara untuk sebuah homestay dan study tour. Pengalaman yang kurang pantas untuk dibilang mengesankan, melainkan menyakitkan. Semua itu berawal dari hancurnya hubunganku yang menghasilkan sakit dan tangis, yang membuat kedua orang tuaku jengkel dan membawaku kesini. Liburan yang paling menyakitkan bagiku. Hanyalah bagiku pada akhirnya kutahu tak ada cinta yang abadi dan akupun yakin aku tak punya itu. Memang benar saat di negeri sebrang sangat menyenangkan tanpa orang tua dan hanyalah ada duri yang menancap dihatiku sehingga tak ada yang enak bagiku. Untung saja aku hanya bertahan 7 hari 6 malam disana, dengan menulis diary ini.
Sisa liburanku hanyalah sebanyak waktu satu minggu, yang dipenuhi dengan keheningan. Namun tangis dan tangis sedihku menyedihkan. Tak sabar menanti liburan yang akan usai, bertemu teman yang dapat kucurhati. Hanyalah sebuah wajah yang tak ingin kulihat dan ingin kutampar karena perlakuan brengseknya padaku.
Kedua orang tuaku jarang mengurusiku, aku tinggal dengan seorang kakak laki-laki yang cukup tampan menurutku, hanyalah sikap cueknya seperti tak menganggapku ada. Tapi setidaknya itu jauh lebih baik, daripada tidak ada orang lain sama sekali. HAMPA. Terkadang aku merasa benar-benar kesepian tanpanya. Tapi disisi lain aku menyesal, berhubungan dengannya, menatap mata birunya, mencium wajahnya yang tampan dan sempurna. Memory terindahku bersamanya. Tak terasa seminggu sudah dan liburan benar-benar usai habis tak tersisa. Banyak cerita cinta SMA yang telah kualami dan semuanya pahit penuh tangis dan kecewa. Hari pertama sangat mengesankan bagiku, tak dapat kulukiskan dengan kata-kata, namun moment selalu lebih indah dari hanya sebuah cerita. Thalita dan Sherileyang merupakan sahabatku mulai SMP. Mereka tetap berlanjut dan sekelas denganku. Akhirnya para guru bersikap perngertian.
Biasanyakan guru-guru memisahkan sahabat-sahabat dengan kelas berbeda.
          “Hi Jo, kita sekelas lho!” sapa Thalita kepadaku dengan senyuman hangat.
          “Hi Thal... Iya aku udah tau kok...” balasku singkat dengan tatapan mata tampak lelah.
          “Jo, kamu baik-baik ajakan?” tanya Sherile sedikit khawatir.
          “Hmmm... I-iya aku  baik-baik aja kok. Masuk yuk...” balasku agak bimbang dan mengalihkan perhatian.
Bel masuk hari pertama MOS berbunyi dan kita semua masuk. Cukup banyak anak bary, api kupandang wajah mereka tak menyimpang sebuah perasaan cinta yang tulus. Tiba-tiba Mr. Max datang, sebelumnya aku benar tak tahu siapa dia. Kupandangi wajahnya mulus, bersinar dan tampan sempurna. Matanya biru laut membuatnya calm dengan rambutnya yang berjambul. Berpakaian formal, berdasi, dan rapi. Tampaknya dia sadis, tapi aku tak dapat berhenti memandanginya. Sepertinya dia guru baru dan utahu ada sesuatu didalam dirinya. Kurasa cinta itu mulai terasa. Bolehkan murid cinta sama gurunya sendiri? Thalita mengagetiku , karena aku terlihat terlalu serius memperhatikannya, sepert cinta bukan main. Tak apalah, setidaknya aku tak melanjutkan khayalan konyol ini. Pertama-tama Mr. Max menjelaskan apa yang akan kita lakukan hari ini. Aku sebisa mungkin melihat dan memperhatikannya tanpa jatuh dalam pandangan cinta. Suaranya lantang keras, gagah dan berani. Terlihat guru laki-laki yang sadis. Tapi terkesan guru laki-laki ganteng yang sadis, menurutku dan beberapa teman baru lainnya. Ya, mungkin seperti cabe pedas yang sangat lezat. Yang pertama harus kita lakukan adalah memintai tanda tangan anggora OSIS yang merupakan pembimbing kita, Michael kelas 12 yang disebut senior kita, kelas 10. Hari pertama MOS benar-benar tak terduga dan ternyata aku main pandang dengannya. Wajahku memerah dan hanya bisa menunduk melihat sepanjang sepatu converse yang kupakai. Mulutku terbungkam kaku, speechless. Michaelpun tak dapat lanjut melihat wajahku, ia berpaling pandangan, disaat menjelaskan sesuatu. Aduh! Ada apa sih denganku hari ini? Kegiatan MOS hari itu berjalan lancar, tapi hanya sampai pada Thalita melakukan. Selanjutnya aku, tanganku berkeringat dan kakiku dingin seakan bakalan ada banjir lokal. Disaat mau melangkah menginjak jaring-jaring, aku terpeleset dan berteriak kencang. Dan tentu saja Michael menolongku dengan menahan aku sehingga aku masih hidup sampai sekarang. Aku jatuh tepat di pelukannya, lengannya yang besar dan berotot memegang dan menggendongku, serta kami beradu pandang untuk yang kedua kalinya. Wangi parfumnya benar-benar membuatku terpesona baunya segar membuatku tak mampu melepaskan diriku darinya. Tapi yang mengalihkan pandangan terlebih dahulu aku, sehngga ia segera membiarkanku duduk. Ya, kesimpulannya semua lancar, kecuali jantungku yang deg-degan.
          “Jo... Kamu gak kenapa-kenapa kan?’’ tanyanya penuh perhatian menatapku.
          “Hmmm... Mata aku kelilipan...” aku menjawab seadanya dan baru kusadari jawabanku tak masuk akal, hanya ingin bersamanya. “Haha... Ya udah aku tiupin dulu sini...” kedua jarinya segera membuka mataku dan meniup mataku.
Tak dapat kubayangkan bila itu terjadi, romantis sekali dan elegan. Teman sekelompokku pada bersorak menjodoh-jodohkan dan menfoto keadaan itu. Tentu saja aku mengelak dan meminta untuk menghapus foto itu setelah sempat kejar mengejar. Wajahku memerah kembali lebih dari sebelumnya, walaupun sebenarnya dalam hatiku senang. Jaim gitu lho! Michael hanya berdiri santai memandangiku dengan senyumnya yang memikat dan karena kecelakaan itu, kamu tak perlu melanjutkan aktifitas karena ada kesalahan pada tali temali yang dibuatnya.
Jam makan siangpun telah tiba dan kamu dipaksa makan semeja dengan teman-teman baru. Tak ada angin tak ada hujan, aku bersebelahan dengannya. Jodoh, mungkin. Tampaknya dia antusias menanyakan apa makananku. Rasanya kalao dipikir beberapa kali lipat reanya sungguh tak penting semua pertanyaannya. Tapi tak apalah daripada semua berdiaman. Aku sebenarnya senang kalalu dia perhatian begitu. Sesuai ‘five-days-orientation’ yang mengesankan itu rasanya ada sesuatu yang hilang dariku, ada yang berbeda dan aneh... Tapi ada yang datang seakan-akan jiwaku berpergian untuk liburan selama sehari. Aku senang, aku sedih, aku tertawa, aku menangis. Semua itu kualami, dari hatiku terdalam yang tak pernah kutampakkan sebenarnya. Sesuatu yang hilang adalah sebagian dari kesedihanku dan kehancuran perasaanku dan yang kembali yaitu sebuah perasaan yang pada awalnya kutak tahu apa itu. Yang kuyakin itulah namanya cinta, tapi benar bukan yang kurasakan. Hari pertama sekolah tak seburuk yang kubayangkan. Pikiranku ke ‘five-days-orientation’ dan harus kuakui, aku menginginkannya. Dua orang pria, perhatian, cinta dan kasih sayang yang kurasakan nggak wajar, tapi itu yang kurasakan. Wajahku benar-benar terlihat seperti periang dengan beberapa tetes keringat saat pelajaran Sejarah yang membosankan. Semua berlalu cukup cepat disaat kumemikirkannya. Tak terasa sudah jam istirahat dan aku berjalan dengan Thalita dan Sherile. Mereka berdua berbincang santai sedangkan aku sibuk dengan handphoneku, mencoba membuka sebuah jaringan sosial dari handphone dan tanpa sadar kepalaku membentur keras tepat di dada salah satu pria yang kupikirkan tadi. Ya betul, berambut tumpeng, berotot besar, dan kekar yaitu Michael.
          “Ash...” sentaknya reflek.
          “Aww!” aku berteriak sambil memegang tulang tengkorakku. “Maaf ya... Aku benar-benar tak melihatmu...” aku meminta maaf dengan ekspresi lemas sambil mengelus-ngelus dadanya dan menanyakan “Kao baik-baik sajakan?”
          “Tak sepantasnya kau bertanya seperti itu padaku. Kepalaku jauh lebih sakit bila menabrak dadaku. Kamu gak kenapa-napakan?” balasnya lembut dengan mulut yang tersenyum lebar dan ia membelai rambutku.
          “Ya...” aku menunduk malu, wajahku memerah dan mataku tak berani menatap wajahnya yang sempurna dan matanya yang bersinar. Aku benar-benar malu.
          “Kau yakin? Apa aku perlu membawamu ke kliniik? Jangan kuatirkan dadaku...” katanya sekali lagi.
          “Ya... Aku tak apa... Maaf sekali lagi ya...” aku melihat dadanya saja tak berani melihat matanya dan aku meninggalkannya.
Sherile dan Thalita melihat kami berdua dan mereka tertawa kecil. Aku sedikit sensi pada mereka karena tadinya aku benar-benar salting di depannya. Sesampainya di kantin aku membeli makanan ringan, bolu coklat kesukaan adikku. Kubuka bungkusnya dan mulai kumakan. Tak kuinginkan tapi terjadi. Aku memikirkannya, dengan kejadian tadi dan kuingat sesuatu, terdapat sesuatu di dadanya, semacam kalung panjang dengan liontin yang aneh. Aku benar-benar penasaran apakah itu, tapi aku segera melanjutkan makanku dan berbincang-bincang melanjutkan pembicaraan yang tadi sempat terputus dengan Sherile dan Thalita.
Keesokan harinya, kelasku ada pelajaran Matematikan yang diajat guru kelasku sendiri, Mr. Max. Di pelajaran pertamanya ia terlihat tegang dengan raut wajahnya yang berkeringat tipis dengan alisnya yang kebawah. Menarik dan ‘cute’ wajahnya menurutku dan bagi temanku dia jelek seperti  seorang mahasiswa culun, dan bukan seorang guru. Ia memperkenalkan tentang dirinya sambil berjalan mengelilingi kelas sambil melihat-lihat wajah kami yang masih polos namum berpikiran macam-macam. Tak kusangka ia berhenti tepat disebelah mejaku dan ia mengaku kalau dia bilang kalimat terakhir serasa sesuatu menusuk di telingaku dan menghancurkan hatiku. Wajahku memucat dan lemas. Aku tak tahu pertanda apakah ini dan yang pasti aku tak punya perasaan sedikitpun dengannya. Hari itu diisi dengan sebuah misteri bagiku, kalung di dada Michael dan hubungan perasaanku dengannya.
Pulang sekolah aku pergi ke cafe biasa dengan Thalita dan Sherile untuk kuajak cerita dan bertukar pikiran tentang hal yang tadi. Mereka bilang aku cinta dia, tapi aneh aku juga punya perasaan dengan Michael. Sebuah cerita SMA yang sangat –sangat aneh. Malam harinya aku berpikir cukup lama, sambil membuka twitter untuk berkoneksi dengan teman-teman. Aku tak dapat tidur seperti sebelumnya, kira-kira 6 jam. Tapi untuk hari ini, aku tidur cukup 4 jam, menghabiskan waktu untuk memutuskan dan meikirkan rencana. Aku benar-benar merasa aneh dan janggal dengan semua itu.
Keesokan harinya, aku sampai di sekolah dan sudah disambut dengan Mr. Max yang tersenyum hangat padaku dan kurasa ini adalah
kesempatan emas.
          “Eh.. Mr, aku ingin bicara nanti, kita ketemu di kelas aja ya, after lunch...” kataku padanya dengan nada sedikit gugup.
          “Iya... Kira-kira jam 12.45 kan? Saya nanti kesini.” Balas Mr. Max santai.
Aku telah membuat janji dengan pria ini dan kurasa pria satunya juga harus kubuat janji dengannya. Pagi-pagi aku berlari mencarinya dan dia memegang tanganku erat saat aku berlari melewatinya. Aku kaget dan gugup untuk melihat kebelakang. Perlahan kugerakkan kepalaku degan mata tertutup dan butiran keringat tipis.
“Mencariku? Haha...” sapanya sambil tersenyum dan tertawa. Tangannya masih memgangku erat. Perlah-lahan aku membuka mataku karena aku rasa aku kenal dia.
          “HA?!” aku berteriak pelan, seolah over-shock. “Bagaimana kau tahu?” aku menanyainya dengan nada tinggi dan mata terbuka lebar setelah menutup, seakan aku kaget dan pingin tahu sekali.
          “Santai dong... Ya udah, emang kenapa nyari aku?” balasnya sambil membelai rambut di poniku dan memeberiku tissue untuk mengusap keringat di pipiku.
          “Hmm... Aku mau ngomong ke kamu, jam 10.10 temui aku di cafetaria ya...” balasku tenang.
Saat itu juga aku meninggalkannya dengan pertanyaan yang misterius seolah tanda tanya seperti barbie ada di kepalaku. Kecurigaanku tentangnya bahwa ia orang misterius benar-benar semakin jelas dengan ia merahasiakan identitasnya. Pelajaran pertama adalah   Matematika dan aku benar tak berani menatap wajahnya sekalipun. Perasaanku bercampur aduk antara takut dan terburu-buru. Sesekali
aku mendengar seseorang memanggil namaku. Suaranya jernih, merdu dan terdengar sangat jelas hingga ke gendang telingaku. Aku melihat sekelilingku dan mereka sepertinya tidak ada yang memanggilku. Mereka semua terus mengerjakan ulangan dan aku benar-benar tak mengenal suara itu. Terdengar seperti suara cowok, tapi terlalu tinggi dan kalaupun suara cewek, tidak ada di kelasku yang seperti itu. Suara itu terdengar sekali lagi dan semakin jelas, tetapi anehnya tak ada yang meresponi. Aku mencoba untuk tenang dan melanjutkan ulangan, hingga pelajaran selesai. Aku bingung dengan keadaanku dan perasaank yang gugup, tubuhku menghangat dan wajahku sedikit memucat. Tapi aku tak mau banyak ambil waktu untuk memikirkan itu karena aku harus tampil ‘fine’ dengan kedua pria itu.
Selesai pelajaran adalah waktu istirahat dan aku segera ke cafetaria, tanpa Sherile dan Thalita untuk menemui Michael. Aku meng-order dua cangkir kopi panas dengan creamer, kesukaanku dan kesukaannya. Dia datang 5 menit terlambat dan aku memulai pembicaraanku.
          “Hai... Kukira kau tak datang. Duduklah, aku menyiapkan secangkir kopi creamer untukmu.” Seapaku membka pembicaraan dengan senuman hangat, sehangat kopi itu.
          “Thanks... Maaf tadi gurunya dismissed kita agak terlambat. Tak mungking aku melanggar janjiku padamu.” Balasnya dengan suasana yang lembut mempesonaku dan sepertinya aku kenal suara itu dan benar suara yang kudengar di kelas tadi.
          “Ehm... Iya, thanks...” balasku sedikit gugup melihat ke bawah. Aku mencoba berpikir dan mengingat tadi.
“Lalu, apa yang ingin kao bicarakan padaku?” tanyanya penasaran.
“Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku, bukan karena aku cewek murahan tapi aku hanya ingin kau tahu kalau aku punya perasaan dengamu..” balasku membuka mulutku perlahan.
“Aku tahu itu. Aku sudah menduga sebelumnya dari raut wajahmu” balasnya.
“Bagaimana kau tahu?! Kurasa tak ada yang kau tak tahu” balasku sedikit jengkel.
“Aku bilang aku tahu dari raut wajahmu!” balasnya dengan nada tinggi sambil meminum kopi.
“Maaf, tapi kau tak menganggapk murahankan?” balasku halus.
“Ya...” balasnya singkat dengan senyuman lebar.
Selanjutnya kami berpisah. Aku segera pergi ke kelas untuk melanjutkan pelajaran dan untung saja masih belum terlambat. Di kelas aku masih tak melupakan benar peristiwa tadi. Mataku berkaca-kaca setelah menangis mengingat tadi. Aku tak mencintainya bahan aku tak punya sedikitpun perasaan kepadanya, tapi aku mengaku sesuatu yang tidak benar dalam diriku. Aku tak tahu bagaimana aku bisa seperti aku yang sekarang, pendiam, pemalu, dan misterius. Aku sedih untuk menyadarinya. Pelajaran dimulai dan aku segera mengusap mataku yang basah, berusaha untuk fokus ke pelajaran dan melupakannya. Tapi pada kenyataanya pikiran itu masih melekat dipikiranku. Aku menyesal mengapa aku melakukan sesuatu yang sangat munafik, padahal aku tak pernah melakukan sesuatu yang sadis dan rencana-rencana busuk. Aku seperti dibisiki oleh malaikat dan setan. Tapi aku melupakannya segera dengan sebuah tugas yang menyenangkan. Siangnya aku tak lagi bersama-sama dengan Thalita dan Sherile, hubunganku benar-benar menjauh dengan mereka dan itulah semua yang kutahu. Aku tetap tinggal di kelas menunggu Mr. Max atas janjiku, pukul 12.45. tapi ia datang sebelum 12.45. penampilannya mempesona dan mengagumkan, menggunakan jam tangan dan blazer kerjanya. Seorang yang professional.
          “Hi...” sapanya lembut sambil membetulkan dasinya.
          “Oh.. Hi, Mr...” balasku sedikit lemas.
          “Jadi apa yang mau kamu katakan? Kamu sakit? Matamu berkaca-kaca...” katanya terlihat serius dan to the point.
          “Ehm... Nggak kok” balasku mengusap mataku. “Hanyalah... Hanyalah sedikit lelah” lanjutku. “Jadi begini aku benar-benar terpesona dengan anda, Mr. Aku suka dengan penampilan fisik anda juga, Mr dan terlebih lagi. Aku punya perasaan dengan anda, Mr!” kataku.
          “Haha... Thanks for that..” ia membalas singkat dengan tertawa kecil.
Aku tak tahu harus bilang apa. Di rumah aku benar-benar speechless, aku menangis di depan kaca. Aku tak tahu apakah yang sebetulnya terjadi padaku. Dunia bukanlah duniaku lagi.
Perasaan yang terungkapkan, ya. Perasaan ‘bullshit’ yang terungkapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar